Kamis, 23 Januari 2014

PELUANG BISNIS BAJU BERUKURAN BESAR

PELUANG BISNIS BAJU BERUKURAN BESAR

http://peluangusaha.kontan.co.id/news/besar-bajunya-besar-potensi-bisnisnya

Besar bajunya, besar potensi bisnisnya


Besar bajunya, besar potensi bisnisnya

Selama ada ide, bisnis busana tidak pernah kehabisan celah. Tren yang sengaja diciptakan atau muncul secara tidak sengaja membuat bisnis ini seakan tidak mengenal kata mati.

Pengikut tren mode busana sangat luas. Tren bisa dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin: pria atau wanita; usia: anak-anak, remaja, dewasa; hingga berdasarkan ukuran; mini atau maksi. Di Indonesia, yang punya penduduk lebih dari 200 juta, tiap segmen pasar tersebut tumbuh subur.

Ambil contoh pasar untuk pakaian berukuran ekstra besar alias big size. “Saat ini, banyak yang menyadari bahwa jumlah orang Indonesia yang bertubuh subur banyak,” tutur Suzanne Subijanto, pemilik label baju ekstrabesar My Size.

Pebisnis baju ekstrabesar di sini adalah mereka yang terjun, baik dalam produksi maupun penjualan, pakaian dengan ukuran paling kecil extra large (XL) hingga ukuran 8 large (8L). Pangsa pasar usaha ini adalah mereka yang memiliki ukuran tubuh di atas rata-rata ukuran normal.

Kebanyakan pembeli baju ukuran ini adalah wanita yang sudah berkeluarga. “Karena biasanya terjadi perubahan ukuran pakaian pada wanita, saat sebelum dan sesudah berkeluarga,” tutur Suzanne, yang akrab dipanggil Suz.

Hal senada disampaikan Suryani Widodo, penjual pakaian ekstrabesar melalui situs www.bigsizefashionstore.com. Saat merintis usaha ini pada 2008 silam, target pasar Suryani adalah ibu-ibu yang ia temui di sekolah sang anak. Suz terbilang pemain lama dalam usaha penjual baju ekstrabesar. Ia sudah mulai menjual baju ekstrabesar sejak Maret 2003. Kala itu ia sering kesulitan mencari baju ekstrabesar untuk ia pakai.

Dari pengalaman pribadinya, Suz bersikukuh membuat baju seukuran posturnya. “Selain untuk dipakai sendiri, saya juga ingin menjadi produsen karena pemainnya masih sangat sedikit kala itu,” tambah dia.

Melalui gerainya yang saat ini sudah berjumlah 16 buah, Suz menawarkan pakaian, sepatu, pakaian dalam wanita dan aksesori ekstrabesar untuk wanita dan laki-laki. Walau saat ini produknya masih didominasi baju ekstrabesar untuk wanita. My Size menawarkan mulai dari kaus, blus, rok, dress, hingga celana. Untuk pakaian, ukuran yang tersedia mulai dari XL sampai 8L. Untuk celana mulai dari ukuran 39-48. “Range harganya mulai dari Rp 125.000–Rp 400.000 per item,” tutur Suz.

Adapun Suryani, terjun berjualan baju ekstrabesar pada Oktober 2008. Alasan awalnya hampir sama dengan Suz, yakni pengalaman pribadi: kesulitan mencari pakaian berukuran ekstrabesar. Hasil produksi awal, ia tawarkan ke orang tua dari teman-teman putranya. “Ternyata cepat habis juga,” jelas Yani, panggilannya.

Yani pun menawarkan baju ekstrabesar untuk pria dan wanita dengan ukuran minimal XL sampai 8L. Koleksi produk Big Size Fashion Store beragam, mulai pakaian dalam wanita hingga sepatu. Harga tiap produk berkisar Rp 50.000 hingga Rp 200.000 per item. 

Baik Suryani, maupun Suzanne sependapat bahwa potensi bisnis ini masih sangat besar. Alasan mereka, jumlah peminat produk berukuran maksi sangat banyak, sedang pemainnya masih terbilang sedikit. Permintaan tidak hanya datang dari Jabodetabek, tapi juga luar Pulau Jawa. My Size yang telah berusia 11 tahun kini memiliki 16 gerai yang tersebar di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. “Kalimantan sedang dalam penjajakan untuk dibuka tahun depan,” ujar Suzanne.

Bahkan, pasar busana berukuran jumbo kini meluas ke para pria. Suzanne dan Suryani, belakangan ini juga menyediakan baju ekstrabesar untuk pria. “Sepertinya pria ingin memakai model dan jenis pakaian yang baru dan lebih beragam,” tutur Suryani.

Kendati hanya berjualan secara online, Suryani tidak pernah melewatkan hari tanpa pesanan. Jika dihitung secara rata-rata, pemesanan yang masuk bisa mencapai 600 item dalam sebulan. Permintaan itu mengalir tak cuma dari dalam negeri, tapi juga luar negeri. “Saya pernah kirim ke Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia,” ujar dia setengah berpromosi. Tak pelak, omzet yang ia bukukan mencapai Rp 3 juta per hari, dengan margin bersih sekitar 30% dalam sebulan.

My Size pun tak kalah ramai. Rata-rata penjualan per hari adalah 50 item. My Size pun mampu menciptakan empat model baru tiap minggunya. Masing-masing model itu bisa diproduksi sekitar 30 lusin–40 lusin. “Model baru harus ada, mengikuti permintaan yang menginginkan model up to date,” tutur Suzanne. Tanpa menyebutkan angka, Suzanne cuma menyebut omzet per bulannya mampu menghidupi 200 orang karyawan.


Menekan risiko

Proses pembuatan baju ekstra besar, pada dasarnya, sama dengan pembuatan baju ukuran biasa. Mulai dari tahapan pembuatan desain, pembuatan pola baju, pemotongan pola baju dan penjahitan. Namun, agar mantap, sebaiknya saat baju sudah selesai dicoba dahulu di badan seorang model. 

Jangan lupa, prinsip baju ekstrabesar adalah mengutamakan kenyamanan si pemakai. “Jika tidak nyaman dipakai, harus dilakukan perubahan desain,” tutur Suzanne.

Tentu, kebutuhan kain untuk baju ekstrabesar lebih banyak. Potongan polanya pun berbeda. Suzanne bertutur bahwa potongan atau cutting pola untuk baju ekstrabesar berbeda dari potongan baju ukuran biasa. Perbedaannya tergantung dari model baju yang akan dibuat. Pola potongan khusus bisa saja terletak di lengan, pinggang, pinggul, atau badan baju. “Perbedaan itu pada dasarnya bertujuan agar pakaiannya lebih nyaman dipakai konsumen,” jelas Suzanne.

Ide model baju ekstrabesar bisa datang dari mana saja. Yani bertutur, inspirasinya dalam menciptakan sebuah model kebanyakan datang dari internet. Saat mencari model baju, Yani tak membatasi diri untuk pencarian model baju ukuran besar saja. Tapi juga meriset model baju ukuran normal yang sedang tren. “Jika sudah menemukan model oke, saat penjahitannya bisa saja disesuaikan dengan potongan untuk ukuran besar,” tambah Yani. Proses serupa berjalan juga di My Size.

Bahan baju yang dipilih juga harus mengutamakan kenyamanan konsumen. Mengingat konsumen baju ekstra besar cenderung mudah berkeringat, bahan yang dipilih sebaiknya bahan-bahan yang mudah menyerap keringat. Katun, kerap menjadi pilihan produsen. “Sifatnya yang nyaman dan mudah menyerap keringat sangat cocok untuk mereka yang mudah berkeringat,” jelas Yani.

Bahan lain yang juga umum digunakan sebagai bahan baju ekstrabesar adalah rayon dan spandex.Kedua bahan itu dinilai nyaman dan mudah mengikuti bentuk tubuh pemakainya. “Chifon juga bisa dipakai, tetapi biasanya hanya sebagai pelengkap,” tutur Suz.

Bahan-bahan tersebut ada yang termasuk bahan impor dan ada juga yang termasuk bahan lokal. Namun, baik Yani maupun Suz bertutur, bahan-bahan tersebut bisa didapat di pemasok bahan kain.

Jika ingin merintis usaha ini, modal yang dibutuhkan tidak sampai Rp 100 juta. Ambil contoh pengalaman Suz yang mengeluarkan uang sekitar Rp 50 juta, 11 tahun silam. Modal tersebut ia gunakan untuk menyewa kios di sebuah pusat perbelanjaan dan membeli stok pakaian ukuran besar dari pemasok. Seiring perkembangan usahanya, Suz memproduksi bajunya sendiri.

Jika ingin memulai usaha ini langsung menjadi produsen, langkah yang perlu Anda tempuh tidak berbeda dengan kebanyakan pebisnis konveksi. Peralatan yang dibutuhkan seperti mesin jahit, mesin pola dan potong, serta perlengkapan potong dan menjahit menjadi elemen utama. Saat ini perlengkapan untuk konveksi sudah bisa didapatkan di dalam negeri dengan berbagai pilihan produk impor maupun lokal.

My Size menggunakan mesin jahit yang khusus digunakan untuk menjahit baju berbahan lentur seperti kaus dengan baju berbahan kaku dan keras seperti jins. Perlengkapan lain yang berbeda dari peralatan pembuatan baju biasa adalah ukuran meja potong. Karena pemakaian bahan yang lebih banyak daripada baju biasa, meja potong yang dibutuhkan harus lebih panjang dan lebar.

Adapun Yani memulai usahanya 5 tahun silam dengan modal Rp 1 juta. Modal itu ia gunakan untuk membuat beberapa baju dari kenalan konveksinya. Karena permintaan terus meningkat, Yani menjalin kerjasama dengan konveksi kenalannya yang memang sudah terbiasa memproduksi pakaian ukuran besar. “Untuk mendapat pekerjaan yang berkualitas, pilih saja konveksi yang memasok ke department store,” jelas Yani.

Sistem maklun, seperti yang digunakan Yani, bisa meminimalkan risiko yang biasa dihadapi konveksi, seperti kesulitan mengelola pekerja. Bagi Yani maklun merupakan jalan yang pas bagi mereka yang masih baru. “Jadi tidak dipusingkan bahan dan pekerja,” tutur Yani.

Adapun keahlian yang harus dimiliki oleh mereka yang ingin merintis usaha ini adalah pengetahuan tentang desain baju ekstrabesar dan proses produksinya. Jika tidak memiliki latar belakang desain, jasa pihak ketiga bisa digunakan, seperti My Size yang memiliki tim kreatif sendiri.

Jika persiapan proses produksi sudah mantap, tinggal tahapan promosi. Yani dan Suz menuturkan, promosi melalui jejaring sosial dan situs terbilang efektif. Produk mereka dikenal oleh konsumen di berbagai penjuru negeri, hingga ke luar Indonesia. Komunitas mereka yang memiliki tubuh besar juga bisa didekati, agar produk kita semakin dikenal.     
Editor: Tri Adi

Si Cantik yang memiliki pendapatan Rp 300 Juta/bln





Seorang yang baru lulus dari universitas (fresh graduate) memiliki pendapatan bulanan pada kisaran jutaan atau belasana juta. Bagi Dea Valencia Budiarto hal tersebut tak berlaku. Masih dalam usia 19 tahun, ia sudah memiliki pendapatan miliaran rupiah per tahun. Semua itu berkat ketekunannya menggeluti bisnis fesyen budaya, Batik Kultur by Dea Valencia. 



Sejak usia 16 tahun, Dea sudah menggali kreativitasnya. Ketidaksanggupannya membeli batik yang ia inginkan justru menjadi awal mula kesuksesannya. Dea menggeledah batik-batik lawas, menggunting sesuai pola yang ia suka, dan membordirnya. Ia ciptakan pakaian dengan hiasan batik lawas berbordir tadi. 



"Ini pakai batik lawas yang udah lama disimpan di lemari misalnya. Kan sering rusak, entah dimakan ngengat ataupun bolong kena banjir. Ya nggak bisa disimpan lagi kan? Makanya itu saya gunting-guntingin, misalnya bunga-bunganya. Nah dari situ saya bordir dan digabung dengan kain lain," ungkap Dea di acara Wirausaha Muda Mandiri, Istora Senayan, Jakarta Pusat. 



Dari situ terciptalah kreasi Batik Kultur. Awal produksi, Dea hanya membuat 20 potong pakaian. Kini? Ada 800 potong Batik Kultur yang dipasarkan per bulannya. Dengan harga Rp 250.000 - 1,2 juta, nilainya setara dengan Rp 3,5 M per tahun atau Rp 300 juta per bulan. 

Dea memulai Batik Kultur benar-benar dari nol. Bahkan ia sendiri yang menjadi model Batik Kultur. Wajar karena wajah Dea terbilang cocok di hadapan kamera. Bahkan Dea sendiri yang mendesain produk Batik Kultur padahal ia mengaku tak bisa menggambar. 



"Desainernya saya sendiri padahal nggak bisa gambar. Imajinasi. Saya ada satu orang yang diandalkan, kerja sama dengan saya. Apa yang ada di otak saya transfer ke dia untuk dijadikan gambar," kata Dea. 

Salah satu prinsip yang dipegang Dea dalam memasarkan produknya sederhana dan menarik. Ia tak mau menjual barang yang ia sendiri tak suka. 

"Kalau sudah jadi pasti saya bikin prototype ukuran saya sendiri. Saya coba, saya suka apa enggak? Karena saya nggak mau jual barang yang saya sendiri nggak suka. Jadi barangnya itu kalau dilihat tidak terlalu nyentrik, lebih seperti pakaian sehari-hari," imbuh gadis asli Semarang. 

Tak cuma batik, Batik Kultur pun merambah ke tenun ikat. Khusus yang satu ini, Dea harus membelinya di Jepara, tepatnya di Desa Troso yang merupakan sentra tenun ikat. Jika dulu hanya membeli beberapa meter kain, kini sekali kulakan Dea membeli tak kurang dari 400 meter tenun ikat. 

Sebagai alumni program studi Sistem Informasi Universitas Multimedia Nusantara, Dea paham betul kekuatan internet untuk pemasaran. Batik Kultur 95 persen memanfaatkan jaringan internet dalam urusan permasalahan. 



Dea menjadikan Facebook dan Instagram sebagai katalog dan media komunikasi dengan konsumennya. Dari sana, referensi untuk Batik Kultur menyebar dari mulut ke mulut. Integrasi dunia maya dan dunia nyata menyukseskan bisnis Dea. 

Namun sama seperti bisnis sukses lain, Batik Kultur menapak bukan tanpa hambatan. Dea pernah dibuat depresi selama seminggu dan menjadi tak produkti karena masalah hak paten. 

"Hambatan... dulu pernah masalah di hak paten. Sebenarnya dulu namanya bukan Batik Kultur by Dea Valencia tapi Sinok Culture. Tapi waktu diurus nama mereknya ternyata sudah ada yang pakai merek Sinok. Saya sempat stress selama seminggu. Karena nama Sinok sangat berarti buat saya. Sinok adalah nama panggilan saya sejak kecil," tutur Dea. 

Melihat segala pencapaian Dea, sulit mempercayai Batik Kultur ada di tangan seorang perempuan muda usia 19 tahun yang sudah memegang gelar sarjana komputer. 
"Saya dulu nggak tahu kenapa sama ibu 22 bulan udah disekolahkan. Umur lima tahun udah masuk SD. SMP dua tahun, SMA dua tahu. Jadi itu 15 tahun masuk kuliah. Tiga setengah tahun kuliah, jadi umur 18 udah lulus," jelas Dea. 

"Setelah lulus pulang ke rumah di Semarang fokus bisnis. Tiap bulan nambah dua tiga pegawai, jadi kini sudah ada 36," imbuh Dea yang tinggal bersama orangtuanya di Gombel, Semarang. 



Meski masih muda dan memiliki pendapatan miliaran rupiah, Dea tak melupakan lingkungan sekitar. Menarik jika mendengar pengakuan Dea tentang beberapa karyawannya. 



"Saya juga mempekerjakan karyawan yang misal nggak ada kaki tapi tangannya masih bisa kerja. Penjahitnya ada enam yang tuna rungu dan tuna wicara. Pertimbangannya? Giving back to society (timbal balik kepada masyarakat)," terang Dea.
Wow...Gadis 19 Tahun Ini Hasilkan Rp 300 juta per bulan

http://www.kaskus.co.id/thread/52ddfa1ebecb17807d8b46d1

http://www.sunoco-news.com/2014/01/wowgadis-19-tahun-ini-hasilkan-rp-300.html


Kamis, 16 Januari 2014

Daftar Bunga KPR Bank-bank Besar, Mana yang Paling Murah? Herdaru Purnomo - detikfinance

Daftar Bunga KPR Bank-bank Besar, Mana yang Paling Murah?

Herdaru Purnomo - detikfinance
Kamis, 16/01/2014 09:55 WIB
http://images.detik.com/content/2014/01/16/5/095630_bca.jpg
Jakarta -Suku bunga dasar kredit (SBDK) industri perbankan rata-rata telah naik mengikuti BI Rate. Kenaikan juga terjadi di bunga Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).

Berdasarkan data yang dikumpulkan detikFinance, Kamis (16/1/2014), beberapa bank besar telah mematok suku bunga KPR di atas 10%.

Bagi masyarakat yang ingin mengajukan KPR di tahun ini, berikut suku bunga dasar kredit beberapa bank untuk dijadikan acuan.

Perlu diingat, SBDK ini belum memperhitungkan komponen premi risiko yang besarnya tergantung dari penilaian Bank terhadap risiko masing-masing debitur.

Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK.

Berikut daftar bunga KPR bank-bank besar berdasarkan data terakhir:

  • CIMB Niaga: 10,80%
  • BNI: 11,10%
  • Bank Mandiri: 11,00%
  • BII: 10,77%
  • BCA: 9,5%
  • Danamon: 12%
  • BTN: 11%
  • BRI: 10,25%
  • OCBC NISP: 12,50%
  • Bank Panin: 10,73%
  • Bank Permata: 12,50%
  • Bank Bukopin: 12,82%
  • Bank Mega: 13,75%
(dru/dnl) 

Rabu, 15 Januari 2014

PELUANG USAHA INSPIRASI RUDOLF P NAINGGOLAN Rudolf bangun menara demi gapai mimpi di langit

PELUANG USAHA
INSPIRASI RUDOLF P NAINGGOLAN

Rudolf bangun menara demi gapai mimpi di langit

Rudolf bangun menara demi gapai mimpi di langit

Banyak orang di negeri ini mahfum mengenai pentingnya pendidikan formal. Namun, tak banyak yang mampu mengubah ilmu dari sekolahnya sebagai modal untuk sukses berbisnis.

Dari sedikit orang yang seperti itu, Rudolf P. Nainggolan salah seorang di antaranya. Dia sukses menjadi pengusaha di jalur yang sesuai dengan latar belakang pendidikan: teknologi telekomunikasi.

Rudolf kini memiliki tiga perusahaan di sektor telekomunikasi. Masing-masing PT Gihon Telekomunikasi Indonesia, provider infrastruktur; PT Wahana Infrastruktur Nusantara, bergerak di bidang proyek pembangunan infrastruktur tower; dan PT Dwidaya Amadeo Gemintang yang bergerak di bidang konten telekomukasi.

Rudolf pun aktif dalam kepengurusan Asosiasi Pengembang Infrastruktur Telekomunikasi (Aspimtel) dan sebagai anggota  individu di Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel).

Keakraban Rudolf dengan  teknologi telekomunikasi dimulai ketika ia diterima di Fakultas Teknik Elektro di Institut Teknologi Surabaya (ITS), tahun 1989, setelah mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA di Denpasar Bali.

Saat menjadi mahasiswa, Rudolf juga aktif berorganisasi. Bahkan, pada 1992–1994, Rudolf menjadi Ketua Presidium Himpunan Mahasiswa Elektro ITS. Pengalaman berorganisasi itu ternyata berguna di masa depan. Rudolf mudah menjalin relasi dengan pengelola perusahaan telekomunikasi raksasa, seperti Indosat dan Telkom.

Setelah lulus kuliah, pada 1994, Rudolf meniti karier di PT Satelindo selama 1995-1997. Pada tahun 1996, Rudolf mendapat kesempatan dari Satelindo mengikuti pelatihan di London. Saat itulah Rudolf melihat majunya industri telekomunikasi terpadu yang terdiri dari infrastruktur seperti tower, jaringan, operator provider, hingga konten telekomunikasi.

Ia pun bermimpi memiliki usaha telekomunikasi seperti yang ia lihat di London. “Indonesia juga harus seperti ini,” batin dia waktu itu. Ide membangun industri telekomunikasi terpadu pernah ia sampaikan ke pimpinan Satelindo. Tetapi, kebijakan yang berlaku saat itu mengharuskan operator membangun infrastruktur sendiri.

Ketika masih menjadi pegawai Satelindo, Rudolf bertugas mencari lahan untuk membanguntower-tower, terutama di area Jakarta. Satu kisah yang ia kenang adalah saat hendak mendirikantower di area ruko Harmoni, Jakarta Pusat. Saat itu ia berhasil melobi Hendra Raharja, pemilik Bank Harapan Santosa. “Kesepakatan kami waktu itu, di setiap cabang BHS akan ada tower,” ujar Rudolf.

Dalam tugasnya, Rudolf malah berurusan dengan hal-hal non-teknis, seperti mengantongi izin dari pengurus RT dan RW, melakukan pendekatan ke masyarakat sekitar, termasuk para preman.

Mimpi untuk menggulirkan usaha sendiri, seperti yang ia lihat di London, menjadi alasan Rudolf mengajukan surat permohonan berhenti ke Satelindo, mulai 1997. Memang, ia tak langsung berwirausaha, melainkan bekerja untuk beberapa operator dengan bidang pekerjaan pembebasan lahan yang akan dibangun tower.


Tersandung krismon

Saat mengawali usaha tahun 1997, Rudolf merogoh kocek Rp 50 juta dengan mendirikan PT Mitra Sistem Komunikasi Indonesia. Ia pun merekrut tiga orang karyawan tetap dan 15 orang karyawan kontrak.

Sebagai orang yang pernah bekerja di perusahaan telekomunikasi, Rudolf tak kesulitan menyemai order. Mitra mengantongi pesanan dari Satelindo dan Telkomsel.

Ujian yang dia hadapi justru datang dari kondisi ekonomi. Setelah menjadi pebisnis, Rudolf baru menyadari pahitnya krisis moneter pada April 1998. Supaya dapurnya tetap mengepul, Rudolf pun banting setir ke perikanan.

Rudolf membeli 2 unit kapal penangkap ikan berbobot mati 50 ton. Agar kapalnya tak kosong setelah memasok ikan, Rudolf menjalin kerja sama dengan rekannya asal Padang, mengangkut pakaian eks impor. Kala itu, pakaian bekas berasal dari Jepang dan Korea yang masuk ke Indonesia melalui Malaysia, lalu ke Sumatra Utara. “Saya buka lapak di lantai 3 Pasar Senen,” ujar Rudolf.

Rudolf pun berniat mencari kredit untuk membeli kapal baru. “Proposal kredit saya ditolak, tetapi saya malah ditawari pekerjaan,” jelas Rudolf.

Ketika itu Bank Mandiri baru saja dibentuk dari hasil merger beberapa bank. Rudolf mendapat order pekerjan di bidang mechanical electrical, telepon PABX dan juga interior untuk 20 kantor Bank Mandiri di Jakarta. Selama kurun waktu tahun 1998 hingga 2000 Rudolf menyelesaikan order pekerjaan dari Bank Mandiri.

Pada tahun 2000, Rudolf mendapat order pekerjaan dari Lippo Telecom untuk proyek di Jawa Timur. Setelah bisnis telekomunikasi menggeliat lagi, baru Rudolf mendirikan PT Gihon Telekomunikasi Indonesia, pada 27 April 2001. Agar bisa fokus dengan usahanya, Rudolf pun mempercayakan bisnis sebelumnya kepada rekannya dengan sistem bagi hasil.

Berkat reputasi dan pengalamannya bekerja sama dengan berbagai operator, Rudolf tidak kesulian mengibarkan bendera Gihon. “Terjadi lompatan penjualan,” ujar alumni program S-2 Manajemen Telekomunikasi UI ini. Pada tahun 2004, omzet Gihon mencapai Rp 100 milyar.

Saat menuntaskan jenjang pendidikan S-2, tahun 2003, Rudolf memilih tesis tentang pengembangan jaringan dengan sistem leasing. Ide Gihon itu, baru populer di antara operator seluler pada tahun 2004. Pelopor penerapannya saat itu adalah Telkomflexi.

Gihon, kini, memiliki 350 tower dan 150 collocation. Untuk agenda ekspansi, Gihon berniat membangun 87 tower baru di Banten, Bangka, Belitung, Palembang, dan Lampung.

Menurut Rudolf tahun 2011 hingga 2020 adalah masa konsolidasi bisnis bagi industri telekomunikasi. “Pilihannya merger atau tebas.” ujar Rudolf.

Akankah Rudolf bisa bertahan? Kita lihat saja nanti.     
Editor: Tri Adi



blogger RYAN pin:224E8F38


Selasa, 14 Januari 2014

PELUANG BISNIS SABUK BONCENGAN ANAK Laba empuk dari sabuk boncengan anak


PELUANG BISNIS SABUK BONCENGAN ANAK

Laba empuk dari sabuk boncengan anak


Telah dibaca sebanyak 1899 kali
Laba empuk dari sabuk boncengan anak
Keselamatan berkendara merupakan kebutuhan mutlak bagi masyarakat. Namun di jalan raya, kita melihat banyak anak yang dibonceng orang tuanya hanya diikat dengan kain seadanya.

Tidak ingin sang keponakan berisiko saat diantar oleh istrinya ke sekolah, Azwar Fauzi merancang desain sabuk untuk memboncengkan anak di sepeda motor. Dengan modal awal Rp 700.000 Azwar lalu memproduksi lima sabuk boncengan. 

Saat itu, Azwar mengakui, sudah ada sabuk boncengan anak yang beredar di pasar. Tapi, menurut Azwar, produk lain tersebut terbuat dari bahan yang keras, sehingga tidak terasa nyaman saat digunakan si anak. Ia pun melakukan perbaikan desain dan memilih bahan yang lebih elastis, yakni kain baby ripstop yang biasa dipakai untuk membuat tas ransel.

Adapun untuk tali sabuk, Azwar memakai harness. Foto sabuk boncengan anak yang diberi merek Jafa ini pun lantas ia upload ke kaskus dan situs-situs gratis lainnya.

Di saat awal memproduksi, Azwar menggunakan sistem makloon ke penjahit. Tahun 2011, Azwar ingat, permintaan untuk sabuk boncengan anak belum banyak. Namun, Azwar berani memutuskan untuk keluar dari tempatnya bekerja dan berniat menekuni usaha sabuk boncengan anak.

Guna mempermudah pemasaran, Azwar memilih lokasi usahanya di daerah Mriti Selatan, Surabaya. Untuk proses produksi dilakukan di kampung asalnya, yakni di Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar.

Ia pun mengerahkan tetangga-tetangga yang berprofesi penjahit untuk memproduksi sabuk boncengan anak. Saat ini, ada 23 orang tetangga penjahit di Blitar yang terlibat dalam proses produksi sabuk bonceng anak Jafa. “Jadi sekarang satu kelurahan banyak yang mengerjakan sabuk bonceng anak Jafa,” ujar Azwar.

Untuk para pekerjanya, Azwar menerapkan sistem ongkos jahit Rp 9.000 per sabuk. Adapun upah untuk tukang potong Rp 7.000 per sabuk.

Setiap seminggu sekali, Azwar mengirim bahan-bahan sabuk dengan truk ke Blitar dan mengangkut hasil sabuk boncengan anak dari Blitar. Ia pun merogoh kocek Rp 100.000 untuk ongkos truk Surabaya-Blitar pulang-pergi. Kini, Azwar mampu memproduksi 500 hingga 600 buah sabuk boncengan anak. Usahanya pun dalam 4 bulan sudah balik modal.

Model sabuk boncengan anak Jafa ada dua macam yaitu tipe biasa dan tipe dengan sandaran kepala. Setiap model diproduksi dengan dua ukuran, yakni ukuran standar, dan jumbo yang lebih besar 20 cm.

Harga jual sabuk boncengan anak Jafa tipe biasa ukuran standar adalah Rp 65.000, sedang ukuran jumbo Rp 75.000. Sedang sabuk dengan sandaran kepala harganya Rp 75.000 untuk ukuran standar, dan Rp 80.000 ukuran jumbo.

Saat ini, Jafa telah bekerja sama dengan 49 agen dan 40 reseller. Persyaratan menjadi agen adalah melakukan order pertama sebanyak 50 buah sabuk boncengan anak. Untuk order berikut,  tidak ada ketentuan jumlah minimal, namun tetap mendapat potongan harga.

Agen akan mendapat potongan harga sebesar Rp 15.000 hingga Rp 20.000. Harga sabuk bonceng anak untuk agen menjadi Rp 50.000, untuk tipe biasa berukuran standar. Harga agen tipe dengan sandaran kepala dan ukuran standar Rp 65.000.

Menurut Azwar, sekitar 80% dari 49 agennya aktif memesan. Order dari total agen bisa mencapai 300 sabuk per bulan, sedang sisanya oleh reseller.

Reseller diharuskan melakukan order pertama sebanyak 8 buah sabuk. Order berikut tanpa ketentuan jumlah minimal. Potongan harga yang diberikan ke reseller antara Rp 10.000 hingga Rp 13.000. Harga sabuk boncengan anak tipe biasa untuk reseller menjadi Rp 55.000 serta Rp 62.000 untuk tipe dengan sandaran kepala.

Kini, sabuk bonceng anak Jafa mampu meraup omzet sebesar Rp 36 juta per bulan. Sedang keuntungan usaha ini menurut Azwar berkisar 25%.

Sejak 3 bulan lalu, Azwar membuat website, yakni jafaboncenganak.com untuk mengerek penjualan. “Pengaruhnya lumayan banyak. Sekarang, kami kelabakan melayani permintaan karena produksi masih terbatas,” ujar Azwar. 

Ia pun menambah 4 orang penjahit lagi di Blitar. Sejauh ini, kendala usaha Azwar adalah kapasitas yang terbatas.


Pemain masih sedikit

Pengalaman yang sama juga dialami oleh Kusmiyati, produsen sabuk boncengan anak Apro yang berlokasi di Jalan Kopo, Gang Lapang, Bandung. Saat memboncengkan anaknya ke sekolah, Kusmiyati was-was jika sang anak ketiduran saat masih dibonceng. Kebetulan, Kusmiyati, punya pengalaman bekerja di sebuah perusahaan tas di Bandung.

Kusmiyati  lantas membeli bahan-bahan sabuk, seperti kain 300 Denier, webbing, busa polyfoam dan buckle acetal. Dari bahan-bahan itu, ia membuat tiga sabuk. Satu sabuk ia pakai sendiri, dan dua  sabuk lain, ia jual ke rekannya.

Sabuk boncengan dengan nama Apro baru mulai diproduksi Kusmiyati secara massal pada bulan Juni 2012. Kusmiyati mengeluarkan modal awal sebesar Rp 5 juta. Semua modal itu ia gunakan untuk membeli bahan sehingga menghasilkan 5 lusin sabuk boncengan anak.

Awalnya, Kusmiyati menerapkan sistem maklun untuk jasa menjahit sabuk boncengan anak. Namun, sistem itu cuma bertahan 6 bulan. Setelah itu, Kusmiyati merekrut tiga penjahit tetap.

Tentu, ia harus mengeluarkan modal baru, sebesar Rp 7,5 juta untuk membeli tiga unit mesin jahit bekas plus Rp 1,8 juta untuk membeli mesin potong. Ongkos jahit yang diberikan Kusmiyati ke penjahitnya adalah Rp 90.000 per lusin.

Harga eceran sabuk boncengan anak Apro Rp 90.000 per buah. Namun sejak Januari 2013, Kusmiyati hanya menerima pembelian dari agen dan reseller. “Bagaimanapun, Apro bisa berkembang karena kerja sama dengan agen dan reseller,” ujar Kusmiyati. Ada 10 agen dan 32reseller yang kini bekerjasama dengan Apro, saat ini.

Harga sabuk boncengan anak Apro untuk agen Rp 62.500, sedang bagi reseller Rp 77.500. Persyaratan bagi agen adalah melakukan pembelian pertama minimal 3 lusin, dan pembelian berikutnya minimal 2 lusin. Sedang reseller cukup melakukan pembelian pertama 3 buah, dan selanjutnya bebas.

Selama 3 bulan terakhir, Kusmiyati mampu memroduksi 1.000 sabuk boncengan anak per bulan. Omzet penjualannya berkisar Rp 60 juta hingga Rp 77 juta per bulan. Sedang keuntungan usaha ini, menurut Kusmiyati, berkisar 30%. Sejak Maret 2013, dibantu suaminya, Kusmiyati membuatwebsite aproapparel.com agar Apro makin dikenal.

Usaha pembuatan sabuk boncengan anak, menurut Kusmiyati maupun Azwar, masih terbuka bagi pemain baru. Populasi sepeda motor di Indonesia yang terus naik bisa menjadi acuan tingginya kebutuhan sabuk boncengan anak. “Baru ada 10 merek,” ujar Kusmiyati.              
Editor: Tri Adi